Kamis, 10 Oktober 2013
Darah Tumpah di Negeriku !
Oleh:
M Hatta Taliwang
MUNGKIN kata Tanah
Tumpah Darahku dalam syair lagu Indonesia Raya mesti dibuang. Karena selama
Indonesia merdeka, pertumpahan darah tidak pernah berhenti, tentunya dengan
segala alasan dan motif. Kalau darah tumpah karena alasan membela kemerdekaan
seperti peristiwa 10 November 1945, mungkin bisa dimaklumi. Tapi darah yang
tumpah atas nama peristiwa Madiun, G 30 S, atas nama penumpasan PKI, pembunuhan
misterius, peristiwa Tanjung Priok, atas nama suku di Kalimantan, atas nama
agama di Maluku, atas nama ras, dan atas nama “tersangka teroris”, adalah
sesuatu yang sangat merisaukan batin bagi orang-orang yang memiliki rasa
kemanusiaan yang tinggi.
Karena
itu, salah sorang teman saya yang juga seorang aktor, Ray Sahetapi, meminta
agar syair lagu Indonesia Raya itu dirubah. Karena menurutnya, sebuah nama atau
kata/kalimat adalah juga merupakan doa. Artinya, dalam setiap kita menyanyi
atau mengucap kata Tanah Tumpah Darahku, itu sama artinya dengan kita berdoa!
Masya’Allah !
Setiap
hari kita menyaksikan orang mati tergeletak dipinggir jalan, entah karena
korban lalu lintas (tahun lalu 33 ribu), karena kejahatan, karena putus asa
karena beban hidup yang semakin berat, karena perkelahian antar kampung, karena
mempertahankan tanahnya dan lain sebagainya. Negeri ini seakan tiada henti
dirundung malang !
Sejarah
kelam masa lalu bangsa ini seakan tiada henti menuntut darah dibalas darah. Dan
entah sudah berapa juta orang yang telah mati sia-sia akibat pergolakan
perebutan kekuasaan di era Singosari, Majapahit, Kesultanan Mataram, penjajahan
Belanda, Jepang, hingga di era kemerdekaan?
Mungkin
tanah air kita, khususnya pulau Jawa mesti “diruwat”, agar pulau dimana Ibu
Kota Negara dan pusat kekuasaan ini tidak lagi dilanda malapetaka bagi
generasi-generasi berikutnya. Kalau ada yang keberatan dengan kata ruwat,
silakan interpretasikan saja sesuai keyakinan agama masing-masing.
Intinya,
kedepan kita tidak ingin lagi terjadi bencana kemanusiaan di pulau ini. Sesama
manusia saling membantai atas nama kepentingan sempit, yang mestinya bisa
diselesaikan dengan akal sehat.
Kecemasan
atas hari depan bangsa ini berpangkal dari banyaknya sumber konflik vertikal
dan horizontal. Ketidak-adilan ekonomi, politik, hukum, sosial, keserakahan
kekuasaan yang terang-benderang, pada suatu saat dapat meletus secara explosif dinegeri
ini.
Dalam
situasi seperti ini, untuk menghindari terulangnya sejarah kelam bangsa ini,
agar manusia tidak menyelesaikan persoalan dengan pertumpahan darah, hanya satu
jawabannya: Diperlukan kepemimpinan yang mengayomi semua, jujur, adil, terbuka,
sederhana, visioner dan negarawan. Semoga Tuhan YMK melindungi bangsa ini dan “menurunkan”
pemimpin yang mampu memutus rantai kelam sejarah bangsa ini pada saat yang
tepat. (Penulis Adalah: Direktur Eksekutif IEPSH) ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Oleh: M Hatta Taliwang PERISTIWA Gerakan 30 September sudah 48 tahun berlalu. Tokoh-tokoh yang terlibat atau dituduh terlibat mungkin ...
-
Ini Kebijakan Pemerintah atau Begundal Kapitalis? Analisis Oleh: Danil’s PEMERINTAHAN SBY-Budiono kembali menunjukan sikap ti...
-
SUARA GARUDA; - Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Anwar Adnan Saleh, mengancam akan melaporkan kontraktor pelaksana pembangunan jembat...
-
Soal Potensi Kerugian Sekitar Rp 2,387 Triliun Jakarta_Barakindo - Direksi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) ...
-
Oleh: M Hatta Taliwang MUNGKIN kata Tanah Tumpah Darahku dalam syair lagu Indonesia Raya mesti dibuang. Karena selama Indonesia merdek...
-
Suara Garuda ; JAKARTA - Ditengah gencarnya desakan pencopotan terhadap Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) II Pada...
-
Suara Garuda ;- JAKARTA - Setelah melaporkan kasus dugaan korupsi atas penyelenggaraan anggaran pemeliharaan rutin jalan dan jembatan...
0 komentar:
Posting Komentar