Kamis, 19 September 2013

Rute Sesat Memilih Presiden


Analisis

Oleh: M Hatta Taliwang

MUNGKIN Soekarno tak pernah berpikir menjadi Presiden. Mungkin juga tak pernah terucap olehnya, bahwa suatu hari dia ingin menjadi Presiden. Dia hanya berpikir bagaimana bangsanya segera cerdas, segera bebas dan merdeka dari penjajahan. Bagaimana agar bangsa yang luas dan besar ini bisa segera bersatu menyusun barisan perlawanan untuk mengusir apa yang sering disebutnya sebagai kaum imperialis dan kolonialisme. Kaum yang hanya maunya enak sendiri dengan mengeksploitasi bangsanya.

Setiap hari yang ada dibenaknya, bagaimana agar kaum marhaen segera hidup layak dan sejahtera, segera terbebas dari penindasan oleh bangsa lain, agar tidak selamanya menjadi kuli di negerinya sendiri, dan menjadi bangsa kuli.

Dia risau melihat bagaimana hasil kebun seperti rempah-rempah, karet, teh, kopi, tebu, gula dan lain-lain hanya di nikmati oleh orang-orang kulit putih, dan memakmurkan negeri Belanda dengan segelintir antek-anteknya. Sementara rakyat pribumi tetap dan terus hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan.

Dia terus menulis dan bersuara lantang terhadap ketidakadilan yang setiap hari ia saksikan. Menentang dan menggugat, hingga suatu hari dia membuat gerah para penjajah, hingga membuat dirinya harus menjalani kehidupan dibalik jeruji penjara. Sejak itulah dia sering di isolir dan diasingkan dari kehidupan luar. Adakah saat itu terbetik dalam pikirannya tentang pamrih untuk menjadi pahlawan atau Presiden? Saya yakin tidak.

Sampai akan berlangsungnya sidang Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), saya yakin Soekarno maupun Hatta tidak berpikir untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tidak juga berpikir untuk membentuk Tim Sukses atau membuat spanduk “Soekarno for President”.

Mereka hanya berpikir bagaimana konsep yang akan menjadi dasar dan aturan-aturan dalam negara baru yang mereka bangun. Sehingga tiba pada suatu titik ibarat sungai mengalir. Suratan nasib membawa mereka berdua dipercaya oleh teman-temannya dalam semangat musyawarah untuk menjadi kapten dari negara yang baru mereka dirikan. Mereka menjadi Presiden dan Wakil Presiden begitu saja secara alamiah sebagai buah dari jerih-payah mereka tanpa hiruk-pikuk harus saling sikut dan menjelekkan satu sama lain. Tentu saja tanpa fitnah, dan tanpa mengumbar ego-ego rendahan.

Seandainya kita menempatkan pertarungan membela rakyat dan pengabdian tulus membela rakyat sebagai tolak ukur dalam memilih Presiden, dan membiarkan rakyat dengan cermat memilih siapa pejuang sesungguhnya, maka pasti akan lahir Presiden yang murni, yang akan memajukan bangsa ini. Padahal, persoalan bangsa yang dihadapi Soekarno pada tahun 20-an hingga 40-an sama saja dengan sekarang, ada penjajahan gaya baru, eksploitasi Sumber Daya Alam, banyak rakyat yang tertindas, dan ketidakadilan justeru lebih dahsyat.

Lalu mengapa kaum pejuang yang selalu menyuarakan masalah-masalah tersebut tidak mendapat tempat untuk didukung menjadi pemimpin bangsa? Bukankah mereka ada dikampus, di LSM, di Ormas atau gerakan buruh/pengacara/wartawan/aktivis? Bukankah mereka yang unggul dalam integritas, kejujuran, track record dan kepedulian? Mengapa kita membiarkan kaum penjajah itu membangun rute sesat dalam cara kita memilih pemimpin bangsa? Membiarkan aktor-aktor yang digelembungkan media massa dan lembaga-lembaga survei sehingga kita sulit membedakan yang mana emas dan yang mana perak? Bahkan membiarkan antek asing dalam ajang yang begitu strategis? Bukankah cara sesat ini telah menipu kita? Setelah berkuasa tidak peduli nasib rakyatnya, bahkan menjual bangsanya?

Seharusnya kita menempuh rute Soekarno (pergulatan pemikiran dan pertarungan dilapangan membela rakyat) itulah yang seharusnya menjadi patokan dalam menentukan siapa pemimpin atau presiden untuk menghadapi tantangan jaman. Rute ini juga yang ditempu Lula Da Silva untuk merubah Brazil. Bukan membiarkan rute Presiden IDOL yang sesat ini (akan) mengatur hidup kita ! ***
Penulis: Direktur Eksekutif IEPSH

0 komentar:

Berita Populer

Pengunjung Suara Garuda