Rabu, 31 Juli 2013

Kritik Dibalas SBY dengan Bermain Gitar & Menciptakan Lagu

ANALISIS
Oleh: M Hatta Taliwang
Dua hari berturut turut kita sudah membahas bagaimana dua Presiden RI (Soekarno dan Soeharto) menanggapi kritik dari Bung Hatta dan Jend Nasution. Dari situ kita bisa memetik pelajaran politik bagaimana prilaku penguasa atas kritik dari lawan politiknya.

Hari ini saya mencoba menganalisis bagaimana SBY bersikap atas kritik-kritik dari “lawan” politiknya. Selama hampir sepuluh tahun berkuasa terutama dalam lima tahun terakhir ini, mungkin tak ada padanannya dalam sejarah politik modern Indonesia, bahkan mungkin di luar negeri, bagaimana keras dan pedasnya kritik terhadap kekuasaan SBY. Namun, hal itu tidak membuat SBY bereaksi spontan dan membalas dengan keras pula. SBY memilih bagaikan “patung” meskipun dicaci maki, dicerca, ditelanjangi, dan dihinakan sedemikian rupa secara terbuka oleh berbagai kalangan dan tokoh. SBY praktis bungkam. Dimasa awal Pemerintahan keduanya (Des 2009), dalam rangka Hari Anti Korupsi, para aktifis dan tokoh masyarakat menggelar demo besar yang diikuti lebih kurang 20 ribu peserta. Kritik-kritik bertaburan dari atas mimbar demo. SBY malah kabarnya bersantai ke Bali, padahal di arena demo ada kerbau yg ditulisi SBY.

Diawal 2010 SBY bahkan melaunching album lagunya di Taman Ismail Marzuki, setelah sebelumnyamjuga telah mengeluarkan beberapa album musiknya. SBY mempromosikan album ketiganya yang berjudul ‘Ku Yakin Sampai di Sana’ itu memuat lagu-lagu SBY yang diciptakan dari 2007 hingga 2009.

Sikap SBY yg terkesan tidak peduli itu membuat banyak tokoh gregetan. Tokoh lintas agama bahkan dengan lantang menuduh SBY sebagai pembohong dengan merinci sejumlah kebohongannya. Bahkan dilanjutkan dengan membentuk rumah pengaduan kebohongan. Tokoh militer seperti Jen Tyasno Soedarto menyatakan, ”Jadi sebenarnya, SBY sudah tidak layak lagi menjadi Presiden. Dan bila DPR tidak bisa bertindak, rakyatlah yang harus bertindak untuk mengganti pemimpin nasional,”. Inilah pernyataan Tyasno lantaran gemas dengan sikap SBY terhadap Malaysia. Sementra itu, Mayjen Purn Saurip Kadi memberi cap SBY sbgai ulat bulu, “Ulat bulu ini membuat gatal. Dan sayangnya ulat bulu itu adalah rekan seangkatan saya di Akabri 1973 (SBY)”.

Kritik pedas terus berlanjut, misalnya dari ekonom senior dan tokoh gerakan Rizal Ramli berkaitan dangan kasus Century, Rizal Ramli bahlan menyebutkan bahwa, ”SBY adalah Presiden pertama yang akan dipenjara bila sudah tidak berkuasa”. Dan kritik yang paling seru adalah dari akun twitter @TrioMacan2000, juga dari cendikiawan seperti George Aditjondro. Yang paling aktual dan berani, tentu saja dari aktifis Haris Rusly Moti (HRM), coba kita simak kritik paling gres dari HRM:
Ternyata enam ciri manusia Indonesia yang digambarkan Muchtar Lubis 35 tahun lalu, kita temukan secara sempurna didalam sosok Presiden SB”.

Mari kita kupas keenam ciri manusia Indonesia menurut Muhtar Lubis tersebut di dalam sosok Presiden SBY. Yang Pertama; Presiden SBY sangat hipokrit & munafik, antara pernyataan dan tindakan selalu berbenturan. Kedua; Presiden SBY juga senang menyalahkan bawahannya. Ketiga; Presiden SBY berjiwa dan menyuburkan feodalisme di lingkungan Partai Demokrat. Keempat; Presiden SBY percaya angka 9 sebagai angka keramat (takhayul). Kelima; Presiden SBY sangat senang mengarang lagu. Dan keenam; Presiden SBY sangat lemah karakter kepemimpinannya. Hal itu bisa dibandingkan dengan Bung Karno & Pak Harto berdasarkan 6 ciri tersebut. Bung Karno misalnya, dari keenam ciri tersebut, hanya ciri artistik yang sesuai dengan karakter Bung Karno. Demikian juga Pak Harto, hanya tiga ciri yang sesuai. Jadi hanya Presiden SBY satu-satunya Presiden RI yang memenuhi seluruh kriteria dari 6 ciri manusia Indonesia yang digambarkan Muchtar Lubis.” Demikian ulasan dan kritik HRM.

Justru dari partai politik yg menyebut dirinya oposisi jarang kita membaca pernyataan keras terhadap SBY. Apakah SBY benar diam atas kritik-kritik yang dilakukan oleh lawan politiknya? Saya menduga SBY bekerja keras dibalik diamnya. Bagi SBY, yang penting kritik kritik itu tidak membawa pada upaya serius impeachment kekuasaannya. Dia faham betul bagaimana rumitnya dan tidak mudahnya impeachment pasca amandemen UUD 1945. Dia menjaga agar partai di Setgab tetap solid meskipun sering bertengkar. Kekuatan-kekuatan potensial melawan digarapnya lewat “operasi intelijen”. Pengalihan issu, penyogokan, bahkan bila perlu penjebakan dan penjerumusan hingga kriminalisasi ditempuh agar perlawanan “musuhnya” bisa ditaklukkan. Sehingga hari demi hari sejak demo besar 2009 tidak pernah ada lagi demo serius yang melawan SBY, dan yang ada hanyalah demo atau perlawanan sandiwara. Beberapa aktifis vocal berhasil “dijinakkan”, kampus yang pimpinannya terlibat/dilibatkan(?) korupsi bahkan pimpinannya sendiri menjadi “herder” mengontrol mahasiswanya. Tokoh-tokoh kritis dibuatkan “kesibukan” dan tidak bisa membangun/menggalang perlawanan bersama. Bila perlu diadu domba.

Tidak berhasil dibangun perlawanan luas dan bersama serta solid. Tidak ada lagi tokoh perlawanan sentral seperti era 60,70,80,90an. Yang kecil merasa tokoh besar, yang besar tidak percaya diri karena banyak kelemahannya bisa dibeberkan ke publik oleh media atau intelijen yang beroperasi untuk itu. SBY pun tidak memberi perlawanan, sehingga tidak lahir martir atau pahlawan dalam berjuang menghadapi kebobrokan kekuasaannya. “Kita seperti memukul angin” kata seorang teman aktifis.”Beda kalau SBY memberi perlawanan, maka militansi aktifis akan terangsang”.

Angin perubahan tidak lagi berhembus kencang, karena sebagian aktifis mulai sibuk jadi caleg, tokoh-tokoh berharap jadi Capres dari hasil pemilu yang sebenarnya mereka sudah tahu tidak akan membawa perubahan apa-apa karena kontrol kapitalisme global disini sudah sangat sistemik. Yang penting “kuyakin sampai 2014″ apapun caranya.


Kira-kira demikianlah sikap SBY yang konon bermimpi jadi Sekjen PBB pasca berakhir jabatan Presidennya di 2014. BISAkah tanpa KITA BERSAMA? Diluar “sukses SBY” meredam perlawanan dan kritik lawannya, maka pertanyaan besar muncul : SBY “selamat”, tapi apakah bangsa ini selamat dengan tumpukan masalah yang diwariskannya? ***

0 komentar:

Berita Populer

Pengunjung Suara Garuda