Rabu, 14 Agustus 2013
Kesamaan Soekarno dengan Nasution Tahun 50-an
Sama-Sama Gerah dengan Demokrasi Liberal
Oleh: M Hatta Taliwang
SETELAH peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution berhenti sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD). Namun, pada tahun 1955 Nasution kembali dipanggil untuk
kedua kalinya menjadi KSAD. Rupanya pergolakan-pergolakan dalam negeri pasca
kemerdekaan sampai dengan pertengahan tahun 1950-an masih berlangsung, mulai
dari kekacauan yang dibuat oleh Westerling
(tentara Belanda ex KNIL), menyusul ex KNIL yang di APRIS kan yang dilakukan
Andi Azis dan kawan-kawan, lalu oleh KNIL yang membentuk RMS, dan belakangan
pembrontakan yang dilakukan oleh unsur-unsur bekas Pejuang Kemerdekaan sendiri
yang tidak puas terhadap PUSAT (di Jabar, Jateng,Kalsel, Sulsel dan Aceh)
membuat Soekarno pusing dan butuh partner perjuangan yang sepaham. Buntut dari
berlakunya UUDS 50 yang menerapkan sistem parlementer, berimplikasi juga terhadap
kestabilan politik. Kabinet silih berganti, bahkan Peristiwa 17 Oktober 1952
sendiri adalah salah satu “buah” dari demokrasi liberal yang membuat tentara
gerah juga.
Atas berbagai situasi
itu, Soekarno berpidato mengecam demokrasi liberal dengan kalimatnya yang
terkenal, ”Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab
demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan,
akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapeta.” Demikian Presiden
Soekarno dalam pidatonya tahun 1957.
Kritiknya makin pedas
terhadap demokrasi liberal yang dinilainya sebagai demokrasi dengan politik
rongrong-merongrong, rebut-merebut, jegal-menjegal dan fitnah-memfitnah.
Lalu sekitar tahun 1953,
setelah berhenti dari KSAD (pasca 17 Oktober 1952), Nasution menulis, “Bahwa
tangan yang harus memegang aparatur itu, yakni kekuasaan politik, adalah
seharusnya teguh. Akan tetapi, umum mengetahui bahwa pemerintah kita adalah
labil, karena belum pernah diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan adanya
berpuluh-puluh Partai Politik (Parpol). Tiap pemerintah harus berkoalisi dan
disusun dari selusin partai, sehingga kelahirannya berdasarkan
kompromis-kompromis. Maka itu, tak mungkin ada gezag (wibawa) tak mungkin ada
kekuasaan yang tegas dan teguh, karena tiada satu partai pun yang dapat
memerintah.
Untuk memperbaiki
aparatur negara, maka perlu adanya
kekuasaan politik yang tegas, yang menjadi syarat mutlak usaha usaha
stabilisasi keamanan negara. Rakyat mengharapkan pimpinan dari Dwitunggal
Soekarno Hatta yang disegani, dijunjung dan dihormati oleh seantero, akan tetapi
Dwitunggal itu tak berdaya karena menurut UUDS 50 mereka cuma perlambang dan
bukan penanggung jawab pemerintahan.
Kekuasaan memerintah
oleh UUDS 50 diserahkan ke partai-partai yang berbentuk sistem parlementer. “(Buku:
MEMENUHI PANGGILAN TUGAS jilid 3 hal 245) Dalam halaman 252, Nasution menulis, ”Sistem
pemilu dan konstitusi kita tahun 50-an merintangi slagordening (pengikatan
persatuan semua kekuatan). Sistem ini selalu meluangkan kesempatan bagi masing-masing
kelompok, bahkan masing-masing tokoh untuk kepentingan yang sempit. Tidak
mungkin tertegak suatu grand-strategi,
suatu strategi besar dengan kepemimpinan yang bernilai kenegarawanan.”
Mungkin Soekarno membaca
visi Nasution ini, dan itulah salah satu alasan Soekarno “memakai kembali”
Nasution dengan mengangkatnya kembali sebagai KSAD pada tahun 1955, yakni untuk
melancarkan konsep DEMOKRASI TERPIMPIN,
setelah keduanya sepakat untuk kembali ke UUD 1945. ***
Penulis Adalah:
Direktur Eksekutif
IEPSH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Oleh: M Hatta Taliwang PERISTIWA Gerakan 30 September sudah 48 tahun berlalu. Tokoh-tokoh yang terlibat atau dituduh terlibat mungkin ...
-
Ini Kebijakan Pemerintah atau Begundal Kapitalis? Analisis Oleh: Danil’s PEMERINTAHAN SBY-Budiono kembali menunjukan sikap ti...
-
SUARA GARUDA; - Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Anwar Adnan Saleh, mengancam akan melaporkan kontraktor pelaksana pembangunan jembat...
-
Soal Potensi Kerugian Sekitar Rp 2,387 Triliun Jakarta_Barakindo - Direksi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) ...
-
Oleh: M Hatta Taliwang MUNGKIN kata Tanah Tumpah Darahku dalam syair lagu Indonesia Raya mesti dibuang. Karena selama Indonesia merdek...
-
Suara Garuda ; JAKARTA - Ditengah gencarnya desakan pencopotan terhadap Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) II Pada...
-
Suara Garuda ;- JAKARTA - Setelah melaporkan kasus dugaan korupsi atas penyelenggaraan anggaran pemeliharaan rutin jalan dan jembatan...
0 komentar:
Posting Komentar