Jumat, 30 Agustus 2013
Kendali Sapi Berbasis Harga
ANALISIS
Oleh: Prof Moch Maksum
PEREKONOMIAN
nasional minggu-minggu ini sedang berduka. Keprihatinan ini ditandai
kemerosotan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan. Sebagai upaya
penanggulangan terhadap kemerosotan ekonomi, pemerintah segera menerbitkan
Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi (PKPE). Dalam suasana keputusasaan
pemerintah menjinakkan krisis daging sapi yang tak berujung pangkal, binatang
”gila” ini pun dapat tempat khusus pada 13 butir kebijakan yang disampaikan
Menko Perekonomian, 23 Agustus 2013. Pengaruh keputusasaan ini tampak dalam
skenario pembenahan liarnya pasar daging ini.
Keliaran tersebut tersirat jelas dalam PKPE butir
ke-9 yang menyebutkan: ”mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari
berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga”. Generalisasi penanganan dua
kelompok pangan dalam klausul PKPE ini tentu mengundang pertanyaan besar akan
efektivitasnya dalam stabilisasi pasar, atau malah sebaliknya, sebagai
kemenangan komprador dan kapitalis dengan syahwat rente impor. Secara khusus
efektivitas teoritis bisa ditelaah untuk urusan daging sapi.
Persoalan daging sapi sudah sekian lama tak pernah
teratasi. Bahkan, ketika pembengkakan impor juga dilakukan melalui penugasan
khusus terhadap Bulog untuk menjinakkannya, tetapi efektivitas operasinya
selalu jadi gunjingan.
Memang benar bahwa pendekatan kuota impor, dalam
bentuk daging beku dan sapi bakalan, terbukti tidak mampu mengendalikan pasar.
Akan tetapi, benarkah kegagalan itu karena basis pendekatannya? Atau karena
kelambanan operasional, kemampuan dan/atau kemauan pemerintah, persisnya:
Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)-melawan importir?
Mengalamatkan persoalan dengan simplifikasi
kegagalan pendekatan kuota dan kemudian menggantikannya dengan pendekatan harga
seharusnya didasarkan atas rasionalitas yang pas. Bukan keputusan yang tanpa
alasan, apalagi masih misteri urusannya. Sepenuhnya bisa dibantah bahwa anomali
pasar yang terjadi adalah kegagalan pendekatan kuota dalam pengendalian harga
pasar.
Ada kecurigaan, pergeseran tersebut mengarah pada prinsip: pokoknya
harga harus turun! Kalau benar itu yang terjadi, tentu itulah indikasi
kemerosotan ketatanegaraan. Prinsip ini dalam waktu dekat efektif mengendalikan
harga pasar. Akan tetapi, perangkatnya adalah importasi yang tidak dibatasi
sampai harga turun ke level tertentu.
Konsekuensinya, importasi akan membengkak dan makin
bengkak karena bisa dipermainkan dengan sulapan harga dalam operasi kartel.
Akibatnya, sebelum dicapai target harga, KIB II akan membiarkan kemudahan impor
guna mempercepat penurunan harga. Ketika target harga sudah tercapai, importasi
dibatasi melalui pengenaan cukai impor untuk menjaga supaya harga daging tidak
makin murah.
Kemenangan
Komprado.
Asesmen di atas dilontarkan karena problem dasarnya
sesungguhnya adalah KIB II yang tidak mampu dan/atau tidak mau sungguh-sungguh
mengendalikan harga. Sama sekali bukan gagalnya pendekatan kuotanya. Perubahan
pendekatan jelas tidak akan membawa hasil memadai ketika KIB II tak berubah.
Karena, alat utama pendekatan berbasis harga yang dalam hal ini adalah juga
impor dan cukai. Aneh, kegagalan melawan mafia malah dijawab dengan kemudahan
importasi.
Oleh karena itu, pantas disebut bahwa penuangan
butir ke-9 PKPE mengisyaratkan kemenangan komprador, yang selama ini menggoreng
daging sapi melalui agitasi konsumen sampai fatwa agamis.
Adalah sangat masuk akal untuk meramalkan, dalam hal stabilisasi harga
daging sapi dewasa ini, pergeseran pendekatan yang dipaketkan dalam PKPE adalah
keputusan yang teramat tergesa- gesa dan grusa-grusu. Sebab ia justru
sangat berpotensi menjadi bumerang yang superkontraproduktif bagi pengembangan
sistem pengembangan ternak, khususnya sapi dan kerbau dalam negeri, yang sudah
ancang-ancang menuju keswasembadaan.
Keprihatinan publik semakin menjadi-jadi ketika
menyaksikan KIB II yang ternyata semakin bingung menyelesaikan (sekadar) urusan
sekerat daging sapi.
Penulis Adalah: Guru
Besar UGM dan Ketua PBNU
Sumber: Kompas 30 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Oleh: M Hatta Taliwang PERISTIWA Gerakan 30 September sudah 48 tahun berlalu. Tokoh-tokoh yang terlibat atau dituduh terlibat mungkin ...
-
Ini Kebijakan Pemerintah atau Begundal Kapitalis? Analisis Oleh: Danil’s PEMERINTAHAN SBY-Budiono kembali menunjukan sikap ti...
-
SUARA GARUDA; - Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Anwar Adnan Saleh, mengancam akan melaporkan kontraktor pelaksana pembangunan jembat...
-
Soal Potensi Kerugian Sekitar Rp 2,387 Triliun Jakarta_Barakindo - Direksi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) ...
-
Oleh: M Hatta Taliwang MUNGKIN kata Tanah Tumpah Darahku dalam syair lagu Indonesia Raya mesti dibuang. Karena selama Indonesia merdek...
-
Suara Garuda ; JAKARTA - Ditengah gencarnya desakan pencopotan terhadap Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) II Pada...
-
Suara Garuda ;- JAKARTA - Setelah melaporkan kasus dugaan korupsi atas penyelenggaraan anggaran pemeliharaan rutin jalan dan jembatan...
0 komentar:
Posting Komentar